Judul diatas disampaikan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) San Afri Awang dalam seminar nasional bertema “Peran Sains, Rekayasa dan Teknologi bagi Pembangunan Berkelanjutan” di Karawaci, Tangerang yang digelar oleh Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Pelita Harapan (UPH).Nyamplung diunggulkan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel, terutama setelah pemerintah mewajibkan pencampuran biodiesel 15 persen kedalam solar, bahkan Kementerian ESDM menargetkan kandungan biodiesel dalam solar mencapai 20 persen pada 2016.
Menurut Awang, budidaya nyamplung yang nama latinnya Calophyllum inophyllum itu selaras dengan prinsip pembangunan rendah karbon jika dibandingkan dengan budidaya kelapa kelapa sawit. Sebagai tanaman hutan potensi serapan karbon nyamplung 120 ton karbon dioksida per ha setiap tahun, sedangkan kelapa sawit hanya 40 ton karbon dioksida per ha per tahun.Pencampuran nyamplung dalam solar terbukti aman. Kendaraan yang berbahan bakar solar yang mengandung biodiesel dari nyamplung diuji coba di Bogor dan Jogjakarta. Tanaman ini amat mudah hidup diberbagai tempat, mulai dari daerah pantai hingga tempat dengan ketinggian 1.200 meter diatas permukaan laut.
Kebutuhan bahan bakar fosil saat ini mencapai 46 juta kl. Dengan memakai angka target kandungan biodiesel 20 persen, kebutuhan minyak nabati untuk energy sebesar 9,2 juta kl. Pemanfaatan nyamplung bisa memenuhi kebutuhan itu jika ada lahan budidaya seluas 2,5 juta ha. Namun, biodiesel dari nyamplung masih kalah bersaing dengan minyak solar. Sebab harga minyak nabati dari nyamplung saat ini Rp 10.000 per liter, lebih tinggi dari solar bersubsidi, Rp 6.900 per liter.
WhatsApp us